
Fenomena Konsumtif Berbelanja/pixabay
Jakarta, Inspira Talk – Fenomena doom spending atau perilaku belanja impulsif dan tidak adaptif semakin marak terjadi di kalangan anak muda khususnya bagi generasi Z (Gen Z) salah satu pemicunya karena faktor stres dalam menjalani kehidupan sosial dan gaya hidup yang digambarkan sosial media.
Hal ini tentu akan berefek negatif terlebih kekhawatiran mengenai tingkat kecemasan dan dampaknya terhadap kesehatan finansial.
Menanggapi hal tersebut, Bianglala Andriadewi, M.Psi., Psikolog Klinis Dewasa yang terbiasa konsen dalam menangani kasus-kasus masalah diri, masalah harga diri, gangguan depresi, gangguan kecemasan, relasi dengan orangtua, hubungan pranikah (pacaran), dan stres kerja.
Menurutnya, Jika berbicara mengenai fenomena Doom spending di kalangan Gen Z ada faktor yang mempengaruhi selain tingkat kecemasan, insicure dan faktor sosial media yang tidak bisa dikontrol seperti ajakan influence untuk berbelanja di marketplace yang sebenarnya barang tersebut belum tentu dibutuhkan.
“Saat seseorang merasa cemas, mereka mencari pelarian, salah satunya melalui belanja impulsif,” ucapnya kepada Inspira Talk, Minggu, (9/3/2025).
“Kalau boleh bilang apapun itu gak sepenuhnya salah gen Z karena banyak faktor yang mempengaruhi,” paparnya.anIa mengatakan, Media sosial menciptakan identitas yang terlalu ideal, mendorong orang untuk harus membeli dan mencoba ada hal yang kurang tepat justru dinormalisasi.
Menurutnya, Generasi Z mudah terpapar gaya hidup glamor di media sosial, kerap merasa tergoda untuk mengikuti tren, meskipun itu tidak sesuai kebutuhan dan faktor media pun seolah mempengaruhi untuk berbelanja.
“Misalkan live di marketplace, langsung pengen cepat beli kalau aku gak beli ini aku akan rugi,” katanya
Hal tersebut lah menurut Bianglala tidak semua yang memicu kecemasan Gen Z yang diciptakan media dan menimbulkan fenomena doom spanding yang dalam jangka panjang akan terus mengakibatkan efek cemas, masalah keuangan karena boros dan terlalu banyak barang yang sebenarnya tidak penting fungsinya yang bisa membuat ketidaknyamanan dan memicu tingkah stress.
Akibatnya, Mereka tidak mempunyai karakter stabil dan cenderung mengikuti tren media sosial, Untuk menghadapi masalah ini, Psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bianglala menyarankan beberapa langkah praktis bagi kalangan masyarakat:Ia mengatakan anak muda atau masyarakat harus mempunyai
“Emosional Awaarnes” atau kesadaran mengelola emosi, Individu yang memiliki Emosional awareness akan mampu mengenali dan memahami perasaan dan perilaku diri sendiri termasuk dalam menahan diri untuk tidak berbelanja secara berlebihan dan berbelanja hanya untuk kebutuhan barang penting dan mempunyai fungsi.
Dengan emosional awareness tersebut individu dapat mengambil keputusan dengan baik dan bisa mengontrol pengeluaran. Kemudian juga harus memahami terkait dengan literasi keuangan bagaimana individu bisa mengelola keuangan secara bijak.
Fenomena doom spending ini tentu menjadi tantangan besar bagi anak muda di era digital. Dengan membangun kebiasaan finansial yang sehat dan memprioritaskan kebutuhan, mereka dapat mengendalikan diri dan menghadapi tekanan emosional tanpa harus mengorbankan keuangan.***