Jakarta, Inspira Talk – Pasar buku Kwitang di kawasan Senen, Jakarta Pusat, yang kini sepi pengunjung, pernah menjadi primadona di era 1990-an. Tempat ini dikenal sebagai surga bagi para pecinta buku dari berbagai kalangan usia. Popularitasnya semakin melejit setelah adegan ikonik dalam film Ada Apa dengan Cinta? yang rilis tahun 2002, di mana tokoh Rangga (Nicholas Saputra) mengajak Cinta (Dian Sastrowardoyo) menyusuri deretan toko buku di Kwitang.
Siang itu, Ahad (15/6/2025), suasana pasar buku tampak sepi dari pengunjung. Hanya deru klakson dari lalu-lalang kendaraan yang terdengar, maklum saja, lokasi pasar ini memang berada di persimpangan antara Jalan Kramat Raya dan Jalan Habib Ali Kwitang.
Baca Juga: Aktivis 98: Soeharto Bukan Pahlawan Nasional, Ia Simbol Dari Pembungkaman
Setiap kali ada pengunjung yang melintas, para pedagang dengan sigap mencoba menarik perhatian. Mereka menyebutkan sejumlah karya sastra ternama, seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, hingga Aku Binatang Jalang karya Chairil Anwar.
“Semakin sepi, tinggal beberapa saja yang masih berjualan. Para pedagang banyak yang pindah ke Blok M,” ujar Agus Fauzun salah satu penjual buku di Pasar Buku Kwitang saat ditemui Ahad (15/6/2025).
Ia menceritakan bahwa setelah reformasi, Pasar Buku Kwitang sempat sepi, kemudian kembali ramai saat film Ada Apa dengan Cinta? hits di pasaran. Namun, setelah itu pasar kembali sepi.
Baca Juga: Prabowo Undang Presiden-Wapres Terdahulu Open House di Istana
Agus mengungkapkan bahwa ia menjual berbagai macam jenis buku, mulai dari buku untuk anak sekolah hingga mahasiswa, termasuk juga buku-buku sastra. Harganya mulai dari sekitar 20 ribu rupiah.
“Alhamdulillah, lengkap semuanya ada,” imbuh pria yang mengaku membuka lapak di Pasar Buku Kwitang sejak tahun 1980-an.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pendapatan sekarang sangat berbeda dibandingkan dulu. Ia menyadari, di tengah kondisi yang serba sulit seperti sekarang, orang untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sudah kesulitan, apalagi untuk membeli buku. Selain itu, menurutnya, sepinya pasar juga dipengaruhi oleh maraknya toko buku online.
“Saya berusaha untuk online juga, tetapi ya itu persaingan harganya di online nggak sehat,” terangnya.
Ia tidak terpikir untuk pindah ke tempat lain, seperti Pasar Buku Kenari atau Blok M. Harapannya hanya satu, lapak yang telah dirintis sejak lama bisa terus bertahan. “Memulai gampang, mempertahankannya itu yang sulit,” pungkasnya.
Di antara sedikit pengunjung siang itu yang bisa dihitung dengan jari, salah satunya adalah Luki Maulana. Ia tampak sedang memperhatikan tumpukan buku dengan saksama, sesekali mengambil satu, membacanya sekilas, lalu meletakkannya kembali.
“Ini masih lihat-lihat tadi belum nemu, belum ada yang cocok. Lagi mencari novel sih,” katanya, Ahad (15/6/2025).
Ia mengaku bahwa itu adalah kunjungan pertamanya ke pasar buku tersebut karena baru sempat datang. Namun, ia sudah lama mengetahui keberadaan pasar buku legendaris itu, baik dari media massa maupun dari beberapa karya sastra yang menyebutkan nama Pasar Buku di Senen, termasuk karya sastrawan Ajip Rosidi.
“Kebetulan saya pengen jadi penulis. Katanya kan langkah awal untuk menjadi penulis ya harus keranjingan baca,” ucapnya tersenyum.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa minat baca masyarakat masih rendah, yang terlihat dari sepinya toko buku. Ia menilai kondisi dunia literasi saat ini cukup memprihatinkan, karena pemerintah terkesan tidak hadir. Ia mencontohkan bahwa penulis hanya mendapatkan honor sekitar 10 persen dari penjualan buku, sementara pembajakan masih marak terjadi. Menurutnya, persentase itu sangat kecil, sehingga muncul istilah bahwa hanya sekitar 2 persen penulis yang bisa hidup dari menulis.
“Terkait toko buku, sekarang zamannya serba online. Jadi toko-toko buku juga harus berinovasi, jangan hanya mengandalkan offline. Promosi, lewat media sosial seperti Tiktok, Instagram harus dimasifkan juga, supaya generasi Z bisa tersentuh dengan buku,” pungkasnya.